“Mas, ingat ya, akad nikahnya jum’at ini, jangan terlambat,”
“Tentu, dinda. Insya Allah saya takkan terlambat. Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumussalam”
Fiuh, semua urusan sudah beres. Aku tinggal mengkonfirmasi orang-orang yang membantu menyediakan konsumsi. Tapi besok sajalah, aku terlalu letih. Malam ini aku bisa tidur. Aku merasa ada yang tidak masuk akal, tapi tetap saja aku menjalani ini dengan santai. Rasa aneh ini muncul jauh di dasar hatiku. Apa yang baru kukatakan tadi? Akad nikah?
Jum’at paginya,
“Nduk, nduk!”
“Iya, bu”
“Nduk, mana si Irfanmu itu? Mbo’ yo disuruh kesini saja sekarang. Bantu-bantu disini.”
“Tadi sudah aku sms bu, dia mau kirim wesel dulu untuk adiknya di kampung, habis itu baru kesini.”
“Nduk, pamanmu bilang, busnya besok setelah dhuhur. Jadi nanti bilang ke bojomu ya.”
Loh, memangnya aku mau kemana? Batinku bertanya walau aku mengangguk saja pada ibuku. Aneh, ada yang aneh. Semuanya seperti skenario yang terencana tanpa kusadari. Apa ini? Pernikahan, bus hari sabtu, dan Irfan itu, sejak kapan aku kenal dia? Rasanya gak ada temanku yang bernama Irfan. Tapi kenapa semua ini terasa sudah ada dari dulu? Kenapa semua yang kuucapkan itu seperti muncul begitu saja sebelum kusadari itu aneh sekali. Yang berbicara itu bukan aku. Aku masih SMA.
Aku melenggang saja. Tamu-tamu sudah berdatangan, penampilanku sudah menakjubkan, ibuku memujinya. Penghulu sudah datang, si Irfan itupun sudah datang, dia datang bersama bapaknya.Rapi sekali dia. Peci hitam dan setelan jas, kusadari dia tampan. Dia punya kharisma yang membuatku tersihir. Aku tersenyum sendiri.Di bagian lain dari diriku menjerit-jerit minta penjelasan. Aku masih sekolah.
Sejak kapan aku merencanakan ini? Apa aku lupa? Tapi tak mungkin, aku saja sudah menyiapkan semuanya. Ah, apa maksud semua ini? Ada aku yang akan menikah dan ada diriku satunya yang selalu merasa aneh atas semua ini.
Akad nikahnya sudah selesai. Tanpa kusadari, air mataku jatuh berderai-derai. Subhanallah, alhamdulillah. Berkali-kali kuucapkan. Kucium dengan sayang punggung tangan pemuda yang kini adalah suamiku. Walau aku tak mengerti, tapi ada kebahagiaan yang kurasakan. Suamiku seorang ikhwan yang tertarbiyah. Tapi disisi lain dari kharismanya, ia romantis. Kata-katanya membuatku melayang. Sejenak kulupakan semua keanehan itu.
Malam itupun tiba. Malam pertama kami sebagai suami-istri. Aku merasa aneh saat dengan mesranya kugandeng tangannya menuju kamar kami. Sisi lainku berteriak, “Hei, ngapain aku ngelakuin ini? Kok aku seneng banget sih?”Tapi diriku yang sedang beraksi ini dengan santainya melakukan setiap hal yang tak bisa kupercaya asalnya dari mana.
Saat aku akan membuka jilbab merahku,
“Dinda sayang, aku mencintaimu sejak awal melihat wajahmu.”
Aku tak tau mengapa, tapi diriku malah senantiasa menghampirinya, aku melayang bersama kata-katanya, dan saat aku hendak memeluknya,
“NDUK, BANGUN! Oalah, habis subuh kok tidur lagi? Cepat bangun dan mandi, sudah jam tujuh kurang limabelas. Kamu bisa telat nduk!”
“APA???” Jegerr, semua keindahan serta keanehan itu tiba-tiba hilang.
Damned, it was just a dream. Aaaah……. Pantas saja aku merasa aneh.
Tapi karena menyadari aku sudah terlambat, tanpa memikirkan mimpi gila itu, buru-buru aku mandi dan sarapan, lalu aku langsung berangkat dengan motorku.
Sesampainya di kelas, aku tidak dimarahi guru, karena tepat pada saat itu, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan masuk ke kelasku. Aku langsung terburu-buru menghampiri kursiku.
“Anak-anak, kelas kalian ini kedatangan seorang murid baru. Dia ini pindahan dari pesantren Miftahul Jannah di kota tetangga. Bapaknya memindahkannya ke sekolah negeri atas permintaan pakdenya. Sudah, itu saja. Oiya, namanya Muhammad Irfan Syauqi Trisno. Irfan, silahkan masuk, ini kelasmu.”
Gedubrak!!
Aku jatuh dari kursi. Irfan? Nama itu, rasanya aku kenal. Ya, ada dalam mimpiku. Mulutku ternganga saat melihatnya masuk. Wajahnya persis yang ada di mimpi sialanku itu.
Temanku membantuku berdiri, persis saat Irfan hendak duduk di belakangku. Entah apa yang membuat mataku mengikuti arah geraknya.
Pelajaran dimulai.
Aku senyum-senyum sendiri lalu istighfar. Sungguh suatu kebetulan. Si Irfan ini memang ikhwan jempolan. Dia menjaga pandangannya dan tingkahnya sopan seperti tutur katanya saat ditanyai oleh wali kelas kami. Sedikit ia perkenalkan dirinya di depan kelas.
Aku seperti sudah mengenalnya dalam sekali. Ah, gara-gara mimpi itu. Sesaat aku berdoa pada Allah,
“Ya Allah, tuntunlah hati ini dan jangan Kau buat hamba terbuaikan oleh mimpi itu. Seandainya memang dia yang akan jadi jodohku, peliharalah kami dari dosa maksiat. Bila tidak, jauhkanlah dia dariku agar aku tak mengingat dan memikirkannya lagi.”
Aku pun mengikuti pelajaran lagi setelah aku mengintip lelaki itu dari cermin di tanganku. Kini semua akan jadi berbeda.